HukumPolitik

Penolakan PMK 81/2025 Dinilai Janggal, Aktivis Desak Audit Total Dana Desa di Polman

9970
×

Penolakan PMK 81/2025 Dinilai Janggal, Aktivis Desak Audit Total Dana Desa di Polman

Sebarkan artikel ini
Poto: Wawancara Ketua dan anggota Apdesi Polman (Tiga kepada desa) setelah RDP

MafiaNews.id // POLMAN Penolakan sejumlah kepala desa di Kabupaten Polewali Mandar terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 terus menimbulkan tanda tanya besar. Aturan yang dirancang untuk memperkuat transparansi, menutup celah manipulasi, serta mencegah penyimpangan Dana Desa ini justru mendapat perlawanan dari sebagian kepala desa yang selama ini mengelola anggaran secara langsung.

Suasana Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Ruang Aspirasi DPRD Polman, Jumat (5/12/2025), sempat memanas. RDP dipimpin Ketua Komisi I DPRD Polman bersama sejumlah anggota dewan. Hadir Ketua Apdesi Polman, para kepala desa, Kabid Pemdes, Asisten I Pemkab Polman, Sekretaris Kaban Keuangan, serta Pimpinan Cabang (Pinca) Bank Sulselbar.

Poto: Pimpinan cabang Bank Sulselbar saat RDP di Ruang Aspirasi DPRD Polman

Pinca Bank Sulselbar menjelaskan dengan tegas bahwa PMK 81/2025 justru memberikan perlindungan hukum kepada kepala desa, perangkat desa, dan penerima pembayaran lainnya. Sebab seluruh transaksi—mulai dari gaji, honor, TPK, hingga upah pekerja—dibayarkan langsung ke rekening penerima melalui sistem CMS (Cash Management System).

“Ini berawal dari pemeriksaan Dana Desa  Tanambuah. Saya bolak-balik dipanggil ke Polda, ditanya kenapa Bank tidak CMR-kan, padahal aturannya sudah jelas. Kami bukan menghambat, tapi ingin melindungi. Karena persoalan ini saya ditahan 15 hari di Polda,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa digitalisasi justru menutup ruang permainan anggaran.

“Dengan CMS, semua transaksi terekam otomatis. Tidak ada lagi potensi pemotongan, mark-up, atau manipulasi pencairan. Sistem ini melindungi kepala desa dari tekanan maupun masalah hukum,” jelasnya.

Ketua Apdesi Polman, Haidir Jalil, menyebut PMK 81/2025 menyulitkan pencairan anggaran dan memperlambat operasional desa.

“Banyak kepala desa terpaksa berutang di toko untuk menutupi kegiatan yang berjalan. Ada yang belum bisa menggaji penyuluh. PMK ini membuat pencairan makin sulit,” ujarnya.

Haidir juga menyampaikan bahwa Apdesi Polman mendapatkan instruksi dari DPP untuk mengikuti aksi di Jakarta.

“Rencananya 30 kepala desa berangkat. Baru 10 yang terdata, dan Senin kami harus sudah di Jakarta,” katanya.

Pernyataan ini memantik pertanyaan publik: Jika LPJ Dana Desa disebut rampung, mengapa masih ada utang kegiatan di desa?

Sejumlah aktivis antikorupsi menilai penolakan PMK tersebut semakin menguatkan dugaan adanya praktik tidak wajar dalam pengelolaan Dana Desa di Polman.

“Kejaksaan dan kepolisian di Sulbar harus segera turun melakukan audit investigatif terhadap Dana Desa tahun 2024–2025. Klaim adanya utang desa dan kegiatan yang tidak berjalan harus diuji secara hukum,” tegas salah satu aktivis.

Ia menyebut ada ketidakwajaran antara laporan administrasi yang dinyatakan selesai dengan kondisi lapangan.

“Kalau LPJ rampung tetapi pekerjaannya tidak ada, itu bukan sekadar kelalaian—itu indikasi penyimpangan serius,” jelasnya.

Sumber Dana Keberangkatan Kades Harus Diaudit

Aktivis juga menyoroti rencana keberangkatan 30 kepala desa untuk aksi nasional di Jakarta. Ia mendesak aparat penegak hukum (APH) memeriksa sumber dana perjalanan tersebut.

“Penegak hukum wajib mengaudit dari mana biaya keberangkatan para kepala desa. Jangan sampai terulang seperti aksi beberapa bulan lalu, ketika Ketua Apdesi disebut menerima sekitar Rp60 juta dari dana hibah Kesra Pemkab Polman ditambah partisipasi kepala desa. Angka ini harus diaudit karena diduga tidak sesuai peruntukannya,” tegasnya.

Menurutnya, anggaran pemerintah—termasuk Dana Desa—tidak boleh digunakan untuk aksi demonstrasi, baik langsung maupun terselubung melalui organisasi.

“APH, baik polisi maupun kejaksaan, harus serius memeriksa. Jika ditemukan penggunaan dana pemerintah untuk aksi, itu harus diproses hukum. Polman harus bersih dari praktik penyimpangan dan korupsi,” ujarnya.

Gelombang penolakan dari sebagian kepala desa justru semakin menguatkan dukungan publik terhadap reformasi tata kelola Dana Desa melalui PMK 81/2025 dan PMK 82/2025. Masyarakat menilai pemerintah pusat dan daerah tidak boleh tunduk pada kelompok yang menolak transparansi.

PMK 81/2025 menjadi momentum penting untuk memastikan setiap rupiah Dana Desa terekam, terlacak, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan—serta menutup celah penyimpangan yang selama ini samar namun terasa kuat di lapangan.

(Iwan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

google-site-verification=6DvSpdgWc4TDIGrv5S-QzFT0oIcizTcSM5HZpI5dRSI